Sleman berupaya naikkan potensi ekonomi bambu

id bambu

Sleman berupaya naikkan potensi ekonomi bambu

Pohon bambu (Foto Istimewa)

Jogja (Antara Jogja) - Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak akhir 2014 mulai mengembangkan potensi ekonomi tanaman bambu yang banyak tumbuh di wilayah kaki Gunung Merapi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Sleman bahkan menjadikan bambu sebagai hasil unggulan hutan bukan kayu mengingat potensi ekonomi bambu yang sangat besar.

"Masyarakat Sleman tidak asing dengan tanaman bambu. Bahkan keberadaan bambu yang dulu banyak dijumpai di lereng Gunung Merapi memiliki makna yang khusus, yakni penanda akan terjadi bahaya erupsi," kata Bupati Sleman Sri Purnomo.

Menurut dia, bambu merupakan salah satu potensi industri kecil yang dikembangkan masyarakat. Bahkan industri kerajinan bambu di Kabupaten Sleman memiliki prospek yang cukup bagus.

"Populasi tanaman bambu di Sleman cukup banyak. Pada 2014 jumlahnya mencapai 733.545 batang, yang sebagian besar berada di Kecamatan Pakem, Cangkringan dan Turi. Sedangkan kebutuhan bambu pada 2011 mencapai 817.860 batang per tahun," katanya.

Ia mengatakan, tanaman bambu jika dikelola secara benar memiliki nilai ekonomis tinggi serta banyak diminati masyarakat. Karena itu bambu sangat strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jangka panjang.

"Tanaman bambu yang mudah dibudidayakan ini membutuhkan masa tanam yang cukup lama antara tiga hingga lima tahun. Jika Sleman berkomitmen sebagai sentra bambu maka perlu langkah strategis bagi pembudidaya agar memperoleh pendapatan sebelum masa panen," katanya.

Sri Purnomo mengatakan, realisasi di lapangan menunjukkan bahwa tanaman bambu belum dioptimalkan dan hanya difungsikan sebagai batas wilayah.

"Padahal apabila dilakukan intensifikasi penanaman bambu yang berkualitas maka komoditas ini akan menjadi investasi jangka panjang.

Ia mengatakan, upaya pengembangan potensi ekonomis bambu di Kabupaten Sleman merupakan agenda besar bagi seluruh instansi pemerintah daerah setempat.

"Karena itu diperlukan komitmen bersama dari swasta dan masyarakat agar pengembangan tanaman bambu dari hulu hingga ke hilir dapat terealisasi, terkoordinasi dan terintegrasi," katanya.

Di Sleman terdapat dua sentra industri bambu yang memiliki perbedaan produk yakni di Sendari Kecamatan Mlati merupakan salah satu sentra kerajinan bambu yang memfokuskan pada produk furniture. Sedangkan Dusun Brajan, Sendangagung, Kecamatan Minggir merupakan sentra produk anyam-anyaman bambu.

"Di luar kedua wilayah tersebut cukup banyak masyarakat Sleman yang memiliki mata pencaharian di bidang kerajinan bambu. Sebagai gambaran pada akhir 2012 di Sleman terdapat 1.759 unit usaha yang mengelola kerajinan bambu, yang terkonsentrasi di Kecamatan Mlati, Moyudan, Minggir dan Godean," katanya.

Jumlah tersebut menyerap tenaga kerja sebesar 3.497 tenaga kerja dengan nilai investasi sebesar Rp10 miliar lebih dan nilai produksi sebesar Rp13 miliar lebih. Hasil dari industri kerajinan bambu tersebut juga telah menembus pangsa pasar dunia.

Kepala Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman Widi Sutikno mengatakan kebutuhan bambu untuk pemenuhaan bahan baku kerajinan sekitar 850.000 batang per tahun, sedangkan kemampuan produksi hanya sekitar 700.000 batang per tahun.

"Kawasan yang potensial untuk pengembangan budidaya bambu adalah tanah milik dan tanah negara. Pada tanah milik bambu akan dibudidayakaan pada tanah tandus, tegal, pekarangan, semak belukar dan bantaran sungai. Sedangkan pada tanah negara bambu akan dibudidayakan pada tanah kas desa dan `Sultan Ground`," katanya.

Ia mengatakan langkah awal untuk Kabupaten Sleman lahan penanaman bambu seluas 30 hektare dengan sebaran lokasi di Kelompok tani Sumber Rejeki Kalitengah Lor Glagaharjo Cangkringan tiga hektare, kelompok tani Maju Makmur Kopeng Kepuharjo Cangkringan delapan hektare, Kelompok tani Jago Mandiri Jragung Jogotirto Berbah empat hektare dan Kelompok tani Cipto Makmur Petung dan Kaliadem Kepuharjo, Cangkringan, 15 hektare.

"Jenis bambu yang dikembangkan Petung, Wulung dan Apus. Tanamaan bambu tersebut dapat berfungsi sebagai menyerap tenaga kerja, konservasi sumber daya alam, sosial ekonomi masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani/perajin," katanya.



         Asosiasi Sentra Bambu Sleman

Bupati Sleman Sri Purnomo juga telah mengukuhkan Asosiasi Sentra Bambu Sembada yang merupakan wadah pegiat bambu dari hulu hingga hilir.

"Komitmen Pemkab Sleman untuk mengembangkan bambu untuk kesejahteraan masyarakat, harus ditindaklanjuti dengan meningkatkan produksi bambu baik dari sisi budidaya hingga produk olahan bambu," kata Sri Purnomo.

Menurut dia, potensi bambu di Kabupaten Sleman masih terbuka lebar. Di lihat dari segi ekonomis, bambu merupakan tanaman yang mudah ditanam, murah dan mudah didapat serta dapat diolah menjadi berbagai olahan kerajinan yang bernilai ekonomis tinggi.

"Terlebih saat ini hasil hutan berupa kayu semakin berkurang dan berharga mahal. Dari sisi ekologi, bambu juga berperan penting dalam konservasi air dan konservasi lahan di koridor sempadan sungai sebagai kawasan perlindungan," katanya.

Melihat potensi bambu yang begitu menguntungkan, Pemerintah Kabupaten Sleman berkomitmen untuk menjadikan Sleman sebagai sentra bambu dengan mengoptimalkan potensi bambu dari hulu ke hilir.

Salah satu langkah yang diambil Pemkab Sleman untuk menjadikan bambu sebagai komoditas unggulan diantaranya dengan menetapkan bambu sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) Unggulan di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Sleman No. 306/Kep.KDH/A/2013.

"Sudah saatnya bambu di wilayah Sleman dikembangkan sebagai budidaya dengan penanganan yang optimal, sehingga memiliki nilai tambah ekonomi produk yang tinggi, yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan para petani maupun pengrajin," katanya.

Populasi tanaman bambu di Sleman cukup besar, walaupun dalam areal yang terpecah pecah. Pada 2013 telah dikembangkan tanaman bambu seluas 30 hektare, dan direncanakan akan ditambah 55 hektare pada 2014 dengan dana dari APBN dan APBD Kabupaten Sleman.

"Di sisi lain di Sleman terdapat 1.759 unit usaha pengelola bambu yang selama ini dalam proses produksinya harus mengambil bahan baku dari keluar wilayah Sleman," katanya.

Berbagai masalah yang diurai dari kondisi tersebut, ke depan para petani bambu, pengrajin bambu, ahli perbambuan, pemerhati bambu dan pemerintah harus bersinergi dan berkolaborasi mengembangkan bambu untuk kesejahteraan masyarakat Sleman.

"Diharapkan tidak terjadi lagi, para pengrajin bambu hanya berpikir keuntungan usahanya semata, tetapi juga mampu berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan petani bambu," katanya.

Keberadaan Asosiasi Bambu Sleman Sembada, kata dia, diharapkan mampu mendorong terwujudnya hal tersebut.

"Asosiasi bambu Sleman Sembada ini diharapkan menjadi mitra pemerintah dalam mewujudkan komitmen mengembangkan bambu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sleman," katanya.

Bupati Sleman mengajak seluruh anggota assosiasi ini untuk bersama-sama Pemkab Sleman mewujudkan Sleman sebagai sentra bambu dan produk kerajinan bambu berkualitas.



               Perajin Bambu Diimbau Waspada

Pusat Aplikasi Bambu Indonesia mengimbau para perajin maupun petani bambu untuk mewaspadai adanya ekportir nakal yang mencoba mengelabuhi aturan dengan memesan bentuk olahan bambu yang sederhana.

"Ada aturan yang melarang ekpor bambu dalam bentuk utuh atau gelondongan dengan panjang lebih dari lima meter," kata Ketua Aplikasi Bambu Indonesia Satya Hermawan.

Menurut dia, banyak ditemukan ekportir bambu yang mencoba mengecoh untuk mensiasati aturan tersebut.

"Banyak ekportir yang mengelabuhi aturan dengan memesan tangga bambu atau pagar bambu dengan panjang lebih dari lima meter dan minta agar bambu tidak dibelah," katanya.

Pesanan produk olahan bambu seperti itu hanya akal-akalan saja, karena sesampai di negara tujuan bambu tersebut tidak digunakan sebagai tangga atau pagar, melainkan diolah lagi menjadi berbagai bentuk funiture, mebel maupun kerajinan lainnya. Pesanan tangga dan pagar tersebut hanya untuk mengelabuhi agar bambu bisa lolos ekspor.

Satya mengatakan, diimbau para petani bambu atau perajin bambu khususnya di Kabupaten Sleman, lebih waspada jika ada pesanan dari ekportir dalam bentuk seperti itu.

"Jika ada pesanan olahan bambu, bisa dilayani tapi jangan dalam bentuk gelondongan. Bambu harus dalam bentuk olahan jadi, bukan setengah jadi, dan tidak berupa gelondongan seperti tangga atau pagar," katanya.

Ia mengatakan, SDM dan SDA bambu di Sleman luar biasa sekali dan ini harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan pegiat bambu dari hulu hingga hilir.

"Sleman salah tempat yang memiliki lahan bambu sangat luas, meskipun lokasinya terpencar, ada pembudidaya bambu, punya perusahaan pengawetan bambu, dan ratusan perajin bambu," katanya.

Diharapkan, kata dia, dengan bambu bisa memberdayakan masyarakat, karena bambu dari ujung bawah hingga paling atas ada nilai ekonomisnya. "Bahkan limbah bambu bisa menjadi manfaat, seperti untuk tusuk gigi dan kerajinan lainnya," katanya.



Standar Kualitas Bambu

Pegiat dan perajin bambu di Kabupaten Sleman, mengharapkan ada kebijakan dari pemerintah untuk menyamakan kualitas bambu setara dengan kayu untuk mempermudah dalam pemasaran produk berbahan bambu.

"Persoalan tentang bambu, pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa, standar bambu belum diakui setingkat kayu untuk jenis funitur atau mebel," kata Ketua Dewan Bambu Indonesia Fajar Sudarwo di Sleman.

Menurut dia, perlu ada advokasi untuk standar kualitas bambu sehingga para perajin bambu tidak kalah bersaing dalam pemasaran produknya.

"Selama ini jika ada pengadaan barang, khususnya di instansi pemerintah, perajin bambu tidak bisa ikut dalam lelang karena memang persyaratan kualitas yang ditentukan berbahan kayu, dan bambu tidak masuk," katanya.

Ia mengatakan, sebenarnya dengan penanganan yang benar baik secara tradisional maupun modern, bambu bisa memilki kualitas setara atau bahkan lebih kuat dari pada kayu.

"Pengawetan secara tradisional semisal dengan cara waktu menebang dan pascapenebangan, bambu bisa sangat kuat. Jaman dulu rumah-rumah tradisional atap terbuat dari bambu dan itu sangat kuat," katanya.

Fajar mengatakan, saat inipun sudah banyak teknologi pengawetan bambu dengan teknologi modern yang lebih mudah dan cepat.

"Jika dengan cara tradisional harus menghitung `mongso` atau bulan-bulan yang tepat untuk menebang bambu dan kemudian merendam dalam air selama sekitar satu tahun. Maka dengan teknologi modern ada yang cukup tujuh menit untuk membuat bambu lebih kuat dan awet," katanya.

(V001)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024