Bersatu membantu petani tebu

id tebu

Bersatu membantu petani tebu

Petani tebu (Foto antaranews.com)

Yogyakarta (Antara Jogja) - Pemerintah bersama asosiasi petani dan pabrik gula serta pihak terkait lainnya semestinya menyatu dalam niat dan tujuan yang sama untuk membantu petani tebu.

Membantu untuk meningkatkan kesejahteraan para petani melalui keuntungan yang semestinya atas usaha pertanian mereka, dan bukan membebani akibat kebijakan yang kurang tepat.

Keinginan para petani tebu saat ini adalah pemerintah diminta segera menetapkan harga patokan petani (HPP) atas gula, tidak menghapus subsidi pupuk, serta membantu memperkuat pabrik gula guna memberdayakan mereka.

Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) meminta pemerintah segera menetapkan HPP gula, karena sebagian pabrik gula di Indonesia telah memasuki musim giling.

"Harga patokan petani (HPP) gula idealnya ditetapkan sebelum memasuki musim giling," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTRI Soemitro Samadikoen sebelum Rakernas APTRI di Yogyakarta, Senin (11/5).

Namun, kata dia, hingga kini pemerintah belum menetapkan dan menerbitkan HPP gula. Oleh karena itu, APTRI mendorong pemerintah untuk menetapkan HPP gula paling lambat akhir Mei 2015.

"Kami menginginkan HPP gula sebesar Rp11.765 per kilogram. Angka itu dianggap ideal, karena berbagai pertimbangan seperti biaya pokok produksi yang terus melonjak, dan margin keuntungan bagi petani sebesar 10 persen," ucapnya.

Menurut dia, Menteri Pertanian mengusulkan HPP gula sebesar Rp9.750, dan angka itu jauh dari angka ideal para petani. APTRI berharap pemerintah bisa menetapkan HPP dengan angka ideal.

"Jika HPP sebesar Rp11.765 tidak mungkin direalisasikan, kami berharap angkanya tidak kurang dari Rp10 ribu, agar para petani tidak mengalami kerugian," tukasnya.

Ia mengemukakan APTRI juga meminta pemerintah untuk meningkatkan rendemen (kadar gula dalam tebu) rata-rata sembilan persen melalui revitalisasi pabrik gula dengan mengganti mesin produksi.

Selama ini, lanjut dia, rendemen di Indonesia sangat rendah, kurang dari tujuh persen. Hal itu antara lain disebabkan adanya kebocoran dalam proses produksi akibat mesin yang sudah aus.

"Di Indonesia ada 63 pabrik gula, yang terdiri atas 52 pabrik milik BUMN, dan 11 milik swasta. Sebagian besar pabrik tidak efisien dalam proses produksi karena mesin pabrik banyak yang tidak berfungsi optimal," ungkapnya.

Wakil Sekjen DPN APTRI M Nur Khabsyin mengatakan dalam rakernas juga dibahas nasib petani tebu terkait dengan regulasi pemerintah mengenai pupuk dan kredit KPPE yang mengalami perubahan.

"Melalui rakernas tersebut para petani tebu mendorong pemerintah membenahi aturan kredit KPPE, dan regulasi pupuk subsidi yang pengawasannya melibatkan aparat keamanan," tuturnya.

Hal itu, kata dia, mengakibatkan ketakutan pada petani. Seharusnya, aparat keamanan mengawasi distributor pupuk, bukan petani.

Menurut dia, APTRI juga mendorong perubahan singkatan HPP yang semula harga patokan petani menjadi harga pembelian pemerintah. Dengan perubahan itu pemerintah diharapkan membeli tebu petani saat harga di bawah HPP.

Selain itu, APTRI juga mendorong pemerintah membuat lembaga independen di bawah presiden untuk mengurusi gula dari hulu sampai hilir. "Peran lembaga independen ini antara lain untuk menjembatani antara petani, pemerintah, dan pasar," katanya.

Rakernas APTRI yang berlangsung selama dua hari, Selasa (12/5) dan Rabu (13/5) itu, dihadiri perwakilan DPN, DPD (pengurus tingkat provinsi dan direksi pabrik), serta DPC atau wilayah kerja pabrik. Tema yang diusung "Kebijakan Pemerintah Berdampak Pada Hidup Matinya Industri Gula Nasional".



Subsidi Tidak Dihapus

Wakil Sekjen DPN APTRI M Nur Khabsyin juga berharap wacana penghapusan subsidi pupuk tidak direalisasikan, karena akan merugikan petani dalam pengembangkan tanaman penghasil gula putih itu.

M Nur Khabsyin di Kudus, Jumat (1/5) lalu, mengatakan penghapusan subsidi pupuk petani tebu jelas tidak adil, karena dalam kondisi sekarang dengan tetap mendapatkan subsidi pupuk pun petani masih sering rugi.

Jika wacana penghapusan subsidi pupuk dipaksakan, petani jelas akan terbebani, karena harga pupuk nonsubsidi dipastikan jauh lebih mahal.

Pembatasan pemberian pupuk bersubsidi terhadap pengelolaan lahan maksimal dua hektare, menurut dia, juga merupakan perlakuan yang kurang adil terhadap petani tebu.

Padahal, kata dia, petani tebu tidak bisa disamakan dengan petani yang selama ini menanam tanaman padi yang bisa panen hingga tiga kali, sedangkan petani tebu hanya sekali dalam setahun.

Ia berharap, pemerintah membatalkan rencana penghapusan subsidi pupuk untuk petani tebu.

Kebutuhan pupuk para petani tebu untuk lahan seluas dua hektare, menurut dia, bisa mencapai 2,5 ton per tahun, dengan persentase 60 persen untuk pupuk ZA, dan 40 persen pupuk phonska.

Wacana menghapus subsidi pupuk petani tebu disampaikan langsung oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno ketika berkunjung ke Pabrik Gula Rendeng, Kudus.

Menurut menteri, dengan adanya penyediaan pupuk nonsubsidi khusus untuk tanaman tebu, diharapkan petani tebu mendapatkan jaminan ketersediaan di lapangan.

Hal tersebut dianggap sebagai salah satu solusi menyelesaikan permasalahan petani tebu yang selama ini berharap mendapatkan pupuk bersubsidi, namun aturannya hanya untuk petani dengan lahan garapan maksimal dua hektare.

Apalagi, harga gula petani nantinya juga ditentukan berdasarkan harga patokan yang memperhitungkan harga pupuk tersebut, sehingga ketika harga pupuknya tidak disubsidi, tentunya akan terefleksi pula dengan harga jual gula petani.

Sementara itu, Presiden Direktur Pabrik Gula Gendhis Multi Manis (GMM) Kamadjaya meminta pemerintah memperkuat keberadaan pabrik gula tebu daripada rafinasi, guna memberdayakan petani penghasil bahan baku komoditas tersebut.

"Faktanya pada 1996 pabrik gula ada 163, tapi sekarang tahun 2015 pabrik gula kita tinggal 57. Jadi, sudah berkurang 100 pabrik lebih selama hampir 20 tahun. Ini yang harus diperhatikan," tambah Kamadjaya di Istana Wakil Presiden Jakarta, 8 Mei lalu.

Oleh karena itu, Kamadjaya bersama jajaran Direksi GMM menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta guna memberikan masukan terkait kebijakan untuk melonggarkan investasi terhadap pengusaha pabrik gula tebu.

Menurut dia, kebijakan investasi dan perdagangan yang saat ini dianut pemerintah tidak bersahabat dengan pengusaha pabrik gula tebu.

Selama ini, kebijakan investasi terlalu memanjakan perusahaan pabrik gula rafinasi, sehingga mengakibatkan petani tebu tidak mendapatkan harga jual yang layak.

"Kebijakan investasi yang sekarang, para rafinasi itu memperoleh impor gula mentah dan bebas biaya masuk. Sehingga, harga jual gula rafinasi selalu lebih rendah dibanding harga gula tebu petani. Itu yang menyebabkan industri gula berbasis tebu kita makin lama makin hancur," tegasnya.

Keberadaan pabrik gula tebu semakin menipis, seiring dengan pertumbuhan perusahaan pabrik gula rafinasi yang mendapatkan banyak investasi.

"Sementara (pabrik gula) rafinasi itu tumbuh dari cuma satu pabrik pada tahun 1996 dengan kapasitas 150.000 ton, sekarang menjadi 11 rafinasi yang kapasitasnya tujuh juta ton," ujarnya.

GMM merupakan perusahaan yang membawahi Pabrik Gula (PG) Blora sejak 2011. PG Blora memulai aktivitas penggilingan tebu sejak 2014, dengan kapasitas penggilingan 6.000 tcd (ton cane per day).

"Dalam satu hari kami menggiling tebu sebanyak 6.000 ton, target produksinya kalau rendemen kira-kira bisa 8 sampai 9 persen, ya

mungkin 400 ton gula," ucapnya.

GMM menginvestasikan Rp1,5 triliun untuk membangun PG Blora yang menyerap tenaga kerja hingga mencapai 20.000 orang. "PG Blora ini merupakan satu-satunya pabrik gula yang ada di Blora. Lahan kami baru 5.000 hektare, yang satu hektarenya kira-kira ada lima sampai enam pekerja," kata dia.



Untuk Swasembada Gula

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebutkan pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp1,7 triliun untuk mencapai swasembada gula pada 2017.

"Pencapaian swasembada gula itu menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah, petani tebu maupun industri gula," tuturnya, dalam sambutan yang dibacakan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Naser di Yogyakarta, Selasa (12/5).

Saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosisasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) II/2015, ia mengatakan dalam konteks itu APTRI diharapkan bisa objektif dalam menjembatani proses komunikasi antara petani tebu dengan pihak terkait.

"Untuk itu, kami berharap Rakernas APTRI ini dapat membawa hasil yang signifikan bagi petani tebu di seluruh Indonesia," ujarnya.

Selain itu, menurut menteri, kegiatan tersebut juga diharapkan dapat menghasilkan sesuatu yang sangat penting, terutama dalam memajukan industri gula di Indonesia. "Hal itu penting, karena Indonesia pernah menjadi negara eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen mengatakan pada 2013-2014 petani tebu mengalami kerugian yang sangat besar, karena harga gula merosot.

Hal itu disebabkan kebijakan pemerintah yang menetapkan kuota impor gula rafinasi hingga 2,8 juta ton. "Jumlah impor gula rafinasi tersebut di atas kebutuhan riil industri makanan dan minuman di Indonesia, sehingga `bocor` ke pasar," ungkapnya.

Oleh karena itu, pencabutan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 111 Tahun 2009 tentang distribusi gula impor rafinasi melalui distributor, menjadi "angin segar" bagi petani tebu.

"Pencabutan surat keputusan tersebut dilakukan Menteri Perdagangan (Mendag) Rahmat Gobel pada Desember 2014. Rahmat Gobel yang baru dua bulan menjabat Mendag dalam kabinet Joko Widodo (Jokowi) berani mencabut surat keputusan yang merugikan petani tebu," tandasnya.

Menurut dia, hal itu menunjukkan kebijakan Mendag Rahmat Gobel pro-petani tebu. Kebijakan tersebut membuat petani tebu saat ini merasa "nyaman", karena tidak terganggu dengan adanya impor gula rafinasi.

"Kebijakan Gobel itu sangat tepat, karena impor gula akan merugikan petani tebu. Kebijakan tersebut menunjukkan Gobel memperhatikan kehidupan petani tebu," imbuh Soemitro.

Sedangkan Wakil Sekjen DPN APTRI M Nur Khabsyin berharap rakernas di Yogyakarta dapat mengurai permasalahan yang selama ini dihadapi para petani tebu di Indonesia seperti lahan yang kurang, rendeman yang masih rendah, dan regulasi yang belum pro-petani tebu.

"Melalui rakernas tersebut permasalahan yang dihadapi para petani

tebu dapat dibicarakan dengan pemerintah untuk dicarikan solusi yang terbaik," ujarnya, berharap.

M008
Pewarta :
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2024